Kemiskinan adalah
keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya
akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara
yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai
cara. Pemahaman utamanya mencakup:
·
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup
kebutuhan pangan
sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
·
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal
ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari
kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan
tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
·
Gambaran tentang kurangnya penghasilan
dan kekayaan yang memadai.
Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik
dan ekonomi di seluruh
dunia.
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam
dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada
satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat /
negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi
yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira
2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia
mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai
hidup dg pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan
dibawah $2 per hari, dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang
didunia mengonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia
mengonsumsi kurang dari $2/hari. Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup
dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.
Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup
dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai
dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling
parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di
setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma
yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin.
Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau
kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara
kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini
biasanya disebut sebagai negara berkembang
Keterkaitan ilmu dengan kemiskinan
Kemiskinan dipelajari oleh banyak
ilmu, seperti ilmu sosial, ekonomi, dan budaya.
·
Dalam politik, perlawanan terhadap kemiskinan biasanya dianggap
sebagai tujuan sosial dan banyak pemerintahan telah berupaya mendirikan
institusi atau departemen. Pekerjaan yang dilakukan oleh badan-badan ini
kebanyakan terbatas hanya dalam sensus dan pengidentifikasian tingkat pendapatan di bawah di
mana warga negara dianggap miskin. Penanggulangan aktif termasuk rencana
perumahan, pensiun
sosial, kesempatan kerja khusus, dll. Beberapa ideologi seperti Marxisme
menyatakan bahwa para ekonomis dan politisi bekerja aktif untuk menciptakan
kemiskinan. Teori lainnya menganggap kemiskinan sebagai tanda sistem
ekonomi yang gagal dan salah satu penyebab utama kejahatan.
·
Dalam hukum, telah ada gerakan yang mencari pendirian "hak manusia"
universal yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan.
·
Dalam pendidikan, kemiskinan
memengaruhi kemampuan murid untuk belajar secara efektif dalam sebuah
lingkungan belajar. Terutama murid yang lebih kecil yang berasal dari keluarga
miskin, kebutuhan dasar mereka seperti yang dijelaskan oleh Abraham
Maslow dalam hirarki kebutuhan Maslow; kebutuhan
akan keamanan
dan rumah yang stabil, pakaian, dan kurangnya kandungan gizi makan mereka
membayangi kemampuan murid-murid ini untuk belajar. Lebih jauh lagi, dalam
lingkungan pendidikan ada istilah untuk menggambarkan fenomen "yang kaya
akan tambah kaya dan yang miskin bertambah miskin" (karena berhubungan
dengan pendidikan, tetapi beralih ke kemiskinan pada umumnya) yaitu efek Matthew.
Perdebatan yang berhubungan dalam
keadaan capital manusia dan capital individual seseorang cenderung untuk
memfokuskan kepada akses capital instructional dan capital social yang tersedia hanya bagi mereka
yang terdidik dalam sistem formal.
Teori tentang kemiskinan
Ada banyak teori
tentang kemiskinan, namun menurut Michael Sherraden (2006:46-54) dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori yang saling bertentangan dan satu kelompok
teori yang tidak memihak (middle ground), yaitu teori yang memfokuskan pada
tingkah laku individu (behavioral), teori yang mengarah pada struktur social,
dan yang satu teori mengenai budaya miskin.
Menurutnya Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan capital manusia (human capital). Teori ini disajikan dalam teori ekonomi neo-klasik, yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi fungsionalis, bahwa ketidak setaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Terori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan.
Teori Struktural yang bertolak belakang dengan teori perilaku memandang bahwa hambatan-hambatan structural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori structural ini terfokus pada topic seperti ras, gender atau ketidak sinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras.
Teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis dan Edward Banfield ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut Michael Sherraden bahwa dalam berbagai bentuk, teori budaya miskin ini berakar pada politik sayap kiri (Lewis) dan politik sayap kanan (Banfield). Dari sayap kiri, perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit (Michael Sherraden : 2006, Parsudi Suparlan : 1995). Dengan kata lain kelompok sayap kiri cenderung melihat budaya miskin sebagai sebuah akibat dari struktur social. Sebaliknya kelompok sayap kanan melihat tingkah laku dan budaya masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur social.
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang kemisinan, yaitu pedekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektik yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart kehidupan, sedangkan pendekatan subyektif adalah pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada dilingkungannya. Seperti diungkapkan oleh Joseph F. Stepanek, ed. (1985) bahwa pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri.
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga.
Seperti BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.
Sedangakn pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat.
Berbeda dengan pendekatan lainnya Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Menurutnya Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan capital manusia (human capital). Teori ini disajikan dalam teori ekonomi neo-klasik, yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi fungsionalis, bahwa ketidak setaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Terori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan.
Teori Struktural yang bertolak belakang dengan teori perilaku memandang bahwa hambatan-hambatan structural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori structural ini terfokus pada topic seperti ras, gender atau ketidak sinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras.
Teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis dan Edward Banfield ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut Michael Sherraden bahwa dalam berbagai bentuk, teori budaya miskin ini berakar pada politik sayap kiri (Lewis) dan politik sayap kanan (Banfield). Dari sayap kiri, perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit (Michael Sherraden : 2006, Parsudi Suparlan : 1995). Dengan kata lain kelompok sayap kiri cenderung melihat budaya miskin sebagai sebuah akibat dari struktur social. Sebaliknya kelompok sayap kanan melihat tingkah laku dan budaya masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur social.
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang kemisinan, yaitu pedekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektik yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart kehidupan, sedangkan pendekatan subyektif adalah pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada dilingkungannya. Seperti diungkapkan oleh Joseph F. Stepanek, ed. (1985) bahwa pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri.
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga.
Seperti BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.
Sedangakn pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat.
Berbeda dengan pendekatan lainnya Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Kemiskinan dunia
Deklarasi Copenhagen menjelaskan
kemiskinan absolut sebagai "sebuah kondisi yang dicirikan dengan
kekurangan parah kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan,
air minum yang aman,
fasilitas sanitasi, kesehatan,
rumah, pendidikan, dan informasi."
Bank Dunia
menggambarkan "sangat miskin" sebagai orang yang hidup dengan
pendapatan kurang dari AS$1 per hari, dan "miskin" dengan pendapatan kurang
dari AS$ 2 per hari. Berdasarkan standar tersebut, 21% dari penduduk dunia
berada dalam keadaan "sangat miskin", dan lebih dari setengah
penduduk dunia masih disebut "miskin", pada 2001.
Proyek Borgen menunjuk pemimpin
Amerika memberikan AS$230 milyar per tahun kepada kontraktor militer, dan hanya
AS$19 milyar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan Perkembangan Milenium PBB
untuk mengakhiri kemiskinan parah sebelum 2025.
Penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan
dengan:
·
penyebab individual, atau patologis, yang melihat
kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si
miskin;
·
penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan
dengan pendidikan keluarga;
·
penyebab sub-budaya (subcultural), yang
menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau
dijalankan dalam lingkungan sekitar;
·
penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai
akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
·
penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa
kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa
kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika
Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki
jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu,
orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal
melewati atas garis kemiskinan.
Menghilangkan kemiskinan
Tanggapan utama terhadap kemiskinan
adalah:
·
Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung
kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa
sejak zaman pertengahan.
·
Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam
kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan
perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan
lain-lain.
·
Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan
secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera
menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih
mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau
keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN DI INDONESIA
Indonesia adalah
sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya
melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak
krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24%
dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah
turun menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004. Tetapi siapa
yang dapat menjamin bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus turun?
Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata
kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika
angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Bagaimana
menerangkan bangunan ekonomi Indonesia dengan fenomena kemiskinan di dalamnya?
Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat terendah, justru tak lama setelah
itu terjadi krisis ekonomi yang dahsyat, yang ternyata tak segera bisa diatasi.
Dampak dari krisis tersebut masih terasa dan terlihat sampai sekarang. Kita
lihat saja, jumlah pengemis melonjak tajam sejak tahun 1999. Para pengemis ini
beroperasi dalam berbagai cara. Banyak yang menjadi pengamen dadakan, penodong
di bis kota dan di persimpangan-persimpangan jalan raya, dan lain-lain.
Dibandingkan tahun 2001-2002, situasi pada saat ini sudah menjadi lebih baik,
namun jumlah pengemis yang beroperasi di masyarakat belum kembali ke keadaan
sebelum krisis.
Apakah gejala ini telah mendapat perhatian yang memadai
dari penentu kebijakan dan para sosiolog? Mungkin kita telah melewatkan satu
momentum yang sangat baik untuk belajar lebih dalam mengenai bangunan
sosial-ekonomi-politik masyarakat kita. Jika saja pemerintah menyisihkan
beberapa milyar rupiah untuk memberdayakan para pengemis ini, maka situasi
keamanan di kota-kota yang agak terganggu dengan kehadirian pengemis-penodong
akan lebih cepat pulih.
Dalam kenyataannya para pengemis Indonesia, termasuk di
dalamnya para pengemis yang melakukan kegiatannya dengan kekerasan, telah ikut
menciptakan rasa tidak aman di dalam masyarakat. Ditambah dengan kondisi
kehidupan politik yang hiruk-pikuk seiring dengan bergulirnya perjuangan
reformasi di segala bidang, maka citra umum mengenai kondisi keamanan di
Indonesia menjadi kurang baik dan tidak kondusif untuk segera pulihnya
kegiatan-kegiatan investasi di bidang ekonomi. Lambatnya proses
pemulihan ekonomi dengan sendirinya berarti lambatnya pengurangan jumlah orang
miskin.
Dalam setengah
tahun terakhir situasi tidak kondusif itu diperparah dengan terjadinya
peristiwa pemboman di Bali pada bulan Oktober 2002, dan terakhir peristiwa
invasi Amerika ke Irak. Semuanya menyebabkan hilangnya banyak lapangan kerja
bagi berbagai lapisan masyarakat, khususnya lapisan pekerja kasar.
Akar kemiskinan
di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja keras.
Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan
kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor
kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal.
Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang
menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi
kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal.
Sementara itu,
keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta etos
kerja yang rendah, semuanya merupakan faktor internal.
Faktor-faktor internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal
juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi
masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan
dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal
yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya
pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan
lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling
terkait.
Mengurai berbagai
faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan tidak jelas harus mulai dari titik
mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi dengan
penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan lapangan kerja bukanlah hal yang
begitu saja dapat dilakukan, misalnya dengan meminjam dari sumber-sumber
pembiayaan luar negeri. Buktinya, pinjaman luar negeri Indonesia pada saat ini
sudah mencapai lebih dari US$140 milyar, namun tetap tidak mudah bagi banyak
warga negara, khususnya yang tidak memiliki ketrampilan khusus, untuk
mendapatkan lapangan kerja.
Upaya meningkatkan penguasaan iptek
masyarakat juga bukan perkara yang mudah. Masalah utamanya adalah biaya
pendidikan. Tetapi bukan hanya itu, budaya menghargai simbol-simbol formal di
masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat menghambat kemajuan penguasaan
iptek. Entah sejak kapan, manusia Indonesia merasa lebih terpandang di
lingkungan masyarakatnya apabila telah memiliki ijazah kesarjanaan daripada
memiliki kemampuan nyata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Akhirnya dunia
pendidikan pun tidak tergerak untuk mencetak manusia-manusia siap pakai.
Sekolah-sekolah kejuruan kurang berkembang. Orang merasa lebih bergengsi
apabila tamat dari sekolah umum daripada sekolah kejuruan karena para siswa
sekolah kejuruan dianggap kurang berkemampuan secara intelektual dibandingkan
anak-anak dari sekolah umum. Alhasil, Indonesia tidak memiliki cukup tenaga
teknis dan insinyur-insinyur lapisan menengah yang tumbuh dari bawah. Padahal
sebagai salah satu negara sedang berkembang kebutuhan akan tenaga-tenaga teknis
amat besar. Merekalah yang akan membentuk lapisan tenaga kerja menengah
Indonesia dan menjadi infrastruktur lunak bagi pengembangan teknologi lebih
canggih pada tahap berikutnya. Dengan demikian, kemiskinan yang dialami
Indonesia di tengah-tengah kelimpahan sumber daya alamnya antara lain
disebabkan oleh sistem pendidikan yang kurang sesuai dengan tahap perkembangan
Indonesia.
Dengan gambaran
tersebut, tulisan ini hendak mengangkat sebuah hasil kajian kebijakan dari
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perekonomian Rakyat Yayasan Agro Ekonomika
(Pusat P3R-YAE). Judul Laporan “Kajian Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat
Miskin di Era Otonomi Daerah”. Hasil kajian lembaga ini cukup layak
ditelaah lebih lanjut oleh karena daya kritisnya yang cukup seimbang dalam
melihat persoalan kemiskinan di Indonesia. Salah satu bab dari laporan kajian
ini menyorot masalah kemiskinan dalam perspektif sejarah. Tawaran pendekatan
untuk mengatasi masalah kemiskinan adalah melalui strategi pola nafkah yang
berkelanjutan dan demokratisasi melalui otonomi daerah.
Fakta – fakta kemiskinan di
indonesia
Upaya-upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia telah dilakukan sejak awal
kemerdekaan. Misalnya, di bidang pendidikan, pemerintah melancarkan
pemberantasan buta huruf tak terbatas di sekolah formal saja, namun juga secara
non-formal. Di era Bung Karno, anak-anak usia sekolah bahkan “dikejar” agar mau
masuk sekolah. Di era Pak Harto, dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan
hasilnya luar biasa. Hal ini
ditunjukkan pada peningkatan peserta pendidikan dasar dari 62
persen anak-anak pada tahun 1973 menjadi lebih dari 90 persen pada tahun
1983. Namun, sampai saat ini tingkat buta huruf dilaporkan masih cukup tinggi
di Indonesia, yaitu meliputi sekitar 5,9 juta orang yang berumur antara 10-44
tahun.
Di bidang
kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan sistem santunan sosial. Di era
Orde Baru, sejak 1970-an, dikenalkan pusat pelayanan kesehatan di tingkat
kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah terjangkau oleh masyarakat desa.
Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa. Pada awal
1990-an pembangunan pusat kesehatan masyarakat meningkat lebih tinggi daripada
rumah sakit. Penempatan bidan di desa yang mendidik kader-kader dari
kalangan penduduk desa sendiri, dan mendampingi kader dalam kegiatan rutin
posyandu, menunjukkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi semacam
ini meningkatkan peluang keberlanjutan program yang berkaitan dengan
penanggulangan kemiskinan. Program Keluarga Berencana juga merupakan program
strategis untuk mengurangi tingkat kemiskinan keluarga.
Melalui program
transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat diberi peluang yang lebih baik
untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Pembukaan dan pengembangan tanah
pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja para transmigran.
Selanjutnya,
melalui Small Enterprise Development Project (SEDP I-III) dari Bank
Dunia dilaksanakanlah program kredit likuiditas Bank Indonesia berupa Kredit
Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) pada tahun 1974
sampai awal 1990-an. Melalui paket 29 Januari 1990, pola kredit usaha kecil
diwujudkan dalam KUK (Kredit Usaha Kecil) yang merupakan kredit komersial. KUK
ditetapkan sebesar 20 persen dari portofolio kredit bank yang menyalurkannya.
Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1232/1989, BUMN diwajibkan untuk
menyisihkan 1-5 persen labanya bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK).
Fasilitas lainnya lagi adalah kredit usaha tani (KUT) yang mulai dilaksanakan
tahun 1985 dan merupakan bantuan modal kerja bagi petani untuk meningkatkan
produktivitas dan pendapatan.
Dalam rangka
penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan berbagai Inpres, seperti Inpres
Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, dan yang agak belakangan
namun cukup terkenal adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga
program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan
Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha
Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan
(PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan
Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), dan seterusnya. Hampir semua
departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah
dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai
puluhan trilyun rupiah.
Pertanyaannya
kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan yang telah ditimbulkan berbagai
program tersebut pada lapisan masyarakat miskin yang menjadi sasarannya?
Jawabannya adalah suatu pertanyaan, yaitu mengapa perekonomian Indonesia ambruk
dan tidak tahan menghadapi krisis moneter pada tahun 1997?
Sebagaimana
dikemukan di atas, struktur perekonomian Indonesia dengan mudah ambruk karena
berat di atas rapuh di bawah. Hal itu terjadi karena kurang seimbangnya
perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai
kini pada pengembangan ekonomi kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan
menengah dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha besar. Kelompok-kelompok
usaha besar ini dalam perkembangannya kurang menjalin hubungan yang sifatnya
saling memperkuat dengan kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah.
Apa yang
dikatakan HS Dillon, pengamat masalah-masalah kemiskinan yang senantiasa
menukik analisisnya, mungkin perlu disimak dengan baik. Dikatakan bahwa
strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan
merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara sedang
berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi tersebut, pinjaman
luar negeri telah memainkan peran besar sebagai sumber pembiayaan. Padahal,
sering terjadi adanya ketidaksesuaian antara paket pembangunan yang dianjurkan
donor dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak
pro kaum miskin, pengelolaan sumber daya alam kurang hati-hati dan tidak
bertanggung jawab, perencanaan pembangunan bersifat top-down,
pelaksanaan program berorientasi keproyekan, misleading industrialisasi,
liberalisasi perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang memadai untuk
melindungi kemungkinan terpinggirkannya kelompok-kelompok miskin di dalam
masyarakat. Selanjutnya berkembang budaya materialisme, praktek KKN. [3]
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA
I. Sampai
kira-kira 28 tahun lalu (1975) kemiskinan bukanlah topik bahasan seminar dan surat-surat
kabar. Baik masyarakat maupun pemerintah “tabu” membahasnya. Pembangunan
dianggap akan menghapuskan kemiskinan “dengan sendirinya”. Dan pakar ekonomi
dengan analisis-analisisnya berdiri paling depan dalam barisan para pakar yang
manganggap bahwa pertumbuhan ekonomi cukup mampu mengatasi segala masalah
sosial ekonomi bangsa.
Selama periode 1976-1996 (20 tahun,
Repelita II-V) angka kemiskinan Indonesia turun drastis dari 40% menjadi 11%
yang dianggap cukup menjadi pembenaran bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%
par tahun dalam periode itu adalah faktor penentunya. Maka krismon 1997-98 yang
kembali meningkatkan angka kemiskinan menjadi 24% tahun 1998 dengan mudah
dijadikan alasan kuat lain bahwa memang pertumbuhan ekonomi “adalah
segala-galanya”.
Kesimpulan
saya, pakar ekonomi (teknokrat ekonomi) bukanlah pendukung kuat kebijakan dan
program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Economic
science has produced mostly “universal” intellectuals. I think it is time for
economists to start transforming themselves __ and to do it fast __
into more “specific”, humble intellectuals (Alejandro Sanz de Santamaria in
Ekins and Max-Neef, 1992:20).
Ekins, Paul &
Manfred Max-Neef, 1992, Real-Life Economics, Routledge London – New
York, p. 20
II.
Program Penanggulangan Kemiskinan bersasaran (targeted poverty alleviation)
paling serius dalam sejarah bangsa Indonesia adalah program IDT di sepertiga
desa di Indonesia, dan program Takesra/Kukesra di dua pertiga desa lainnya.
Keduanya didasarkan atas Inpres 5/1993 dan Inpres 3/1996, yang pertama dengan
anggaran dari APBN dan yang kedua dari APBN ditambah bantuan “konglomerat”.
Program IDT maupun Takesra/Kukesra keduanya dilaksanakan melalui pendekatan
kelompok sasaran antara 15-30 kepala keluarga dengan pemberian modal bergulir,
yang pertama (IDT) sebagai hibah dan yang kedua sebagai pinjaman/kredit mikro.
Meskipun
terkesan di masyarakat luas bahwa program IDT dan Takesra/Kukesra ini semuanya
sudah “gagal total” karena tidak ada lagi dana segar yang disalurkan kepada
penduduk miskin, dan sudah ada program-program penggantinya yaitu PPK (Program
Pengembangan Kecamatan), tetapi penelitian kami sekaligus mengujicoba kuesioner
dan Manual ESCAP di DIY membuktikan yang sebaliknya. Dana hibah program IDT di
Karangawen, Gunungkidul, telah meningkatkan pendapatan penduduk miskin sebesar
97% selama 8 tahun (1994-2002). Meskipun dana IDT diberikan sebagai hibah
pemerintah pusat kepada 123.000 pokmas di seluruh Indonesia, tetapi di
Karangawen otomatis dijadikan model simpan pinjam yang kini telah berkembang
126%. Bukti dari lapangan ini menunjukkan bahwa rakyat / penduduk miskin tidak
pernah memperlakukan dana IDT sebagai program belas kasihan (charity)
tetapi benar-benar sebagai dana program pemberdayaan ekonomi rakyat yang mampu
mengembangkan masyarakat desa yang mandiri dan percaya diri. Dalam kaitan ini
saya sedih sekali dan sulit memahami arogansi pakar-pakar ekonomi dan sosial
yang enggan pergi ke desa-desa dan selalu menolak hasil-hasil penelitian apapun
yang menunjukkan rakyat/penduduk miskin bukan orang-orang bodoh, malas,
sehingga hanya bisa maju dengan instruksi dari pemerintah atau orang-orang
“pandai” dari luar. Dari kasus ini terbukti bahwa justru bukan rakyat/penduduk
miskin yang bodoh/malas, tetapi para pakar ekonomi/sosial itulah sebenarnya
yang malas/bodoh. Dalam pada itu aparat birokrasi yang berbicara lancar tentang
segala program “taskin”, dalam kenyataan sering memperlihatkan kepedulian dan
komitmen yang amat rendah terhadap kehidupan dan nasib penduduk miskin di
daerahnya. Ada seorang bupati di Bengkulu yang tidak peduli pada anggota pokmas
IDT yang telah ditipu pengusaha pemasok sapi setempat padahal 4 bulan
sebelumnya sudah ada “laporan” masuk tentang hal itu di kantornya. Di Maluku
seorang pejabat PMD kecamatan tidak berterima kasih tetapi malah mengeluh
“tambah kerjaan” saat dikonfirmasi (1996) bahwa seluruh kota di propinsi,
kabupaten/kota di “IDT” kan. Faktor-faktor itulah yang secara keseluruhan
mempersulit upaya penanggulangan kemiskinan bersasaran di Indonesia.
III.
Lokakarya kita 2 hari ini bagi sementara orang memang bertajuk kurang menarik,
yaitu hanya membahas “aplikasi manual tentang penanggulangan kemiskinan
bersasaran” (A Manual for Evaluating Targeted Poverty Alleviation Programmes),
“lebih-lebih” dengan bahasa Inggris. Namun karena telah ada putusan
panitia penyelenggara bahwa pada hari kedua ini kita boleh penuh menggunakan
bahasa Indonesia atau bagi saya bahasa Jawa di sana-sini, sebaiknya kita
berusaha maksimal memanfaatkannya. Manual yang dimaksud dan kuisioner yang
menyertainya telah saya terapkan (diujicobakan) di 5 kabupaten/kota di propinsi
DIY mulai September 2002–Januari 2003 dan sebagian hasilnya saya laporkan dalam
makalah dengan bahasa Inggris yang “bopeng-bopeng”.
Tiga
kritik utama saya terhadap manual ini adalah: Pertama, pendekatannya
masih kurang cocok dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya riil Indonesia yang
masih bersifat dualistik, yaitu masih adanya perbedaan besar antara sektor
modern-industrial dan sektor tradisional perdesaan (ekonomi rakyat). Kedua,
pendekatan terhadap responden/peserta program penanggulangan kemiskinan
bersasaran (PKB) sangat individual/perorangan, padahal dalam kenyataan di semua
program PKB peranan kelompok masyarakat (Pokmas) sangat besar. Ketiga,
pada bidang usaha/kegiatan ekonomi diasumsikan adanya pemisahan yang
jelas/tegas antara kegiatan ekonomi rumah tangga sehari-hari dengan
usaha/bisnis termasuk dalam pembukuannya. Namun harus diakui bahwa manual ini
benar-benar sangat bermanfaat dan menggugah kita di Indonesia yang selama ini
belum pernah membuat upaya-upaya seperti ini, yaitu mengadakan evaluasi secara
kuantitatif dampak program (sosial/ekonomi) PKB.
Memang
kita sudah sering berbicara tentang MONEV (Monitoring and Evaluation)
tetapi belum pernah mengukur secara kuantitatif dampak program-program ini pada
tingkat rumah tangga (household), lebih-lebih pada tingkat pemanfaat
langsung (beneficiary) dan juga pada tingkat Pokmas beranggotakan 15-30
orang. Jadi yang sering terjadi, meskipun kita sering megadakan MONEV di
berbagai daerah kabupaten/kota atau propinsi, namun laporannya selalu bersifat
non kuantitatif, yaitu, baik, sedang, kurang, dan sebagainya, dan tidak pernah
dapat menunjukkan berapa persen pendapatan penduduk/penerima manfaat telah
meningkat sebagai hasil dari program tertentu dan berapa persen penduduk miskin
telah menjadi tidak miskin lagi per desa, per kabupaten, dan per propinsi. Satu
dua propinsi seperti DIY dan Bali melaporkan berhasil melaksanakan program IDT,
tetapi tidak ada laporan secara kuantitatif berapa ribu orang telah dibebaskan
dari kemiskinannya selama 8-9 tahun program IDT, dan berapa persen kenaikan
pendapatan mereka yang telah tidak miskin lagi.
Dampak
negatif belum adanya evaluasi kuantitatif ini sangat jelas yaitu pemerintah
tidak pernah mampu untuk mempertajam program-progam PKB, yaitu di
daerah-daerah mana saja program-program perlu dikendorkan karena masyarakat/
ekonomi rakyat sudah dapat mandiri/diberdayakan, dan di daerah mana saja
program-program masih perlu ditingkatkan berdasar dan mengambil pelajaran dari
pelaksanaan program-program serupa di daerah yang telah berhasil seperti DIY
dan Bali tersebut. “Studi banding” dalam arti sebenarnya jarang dilakukan
pejabat, bahkan jika mereka bertemu dalam konperensi nasional/regional pun yang
mereka tukar pendapatkan bukan upaya-upaya konkrit melaksanakan program-program
yang baik tetapi sekedar omong-omong “kagum-mengagumi” praktek-praktek tertentu
tanpa tindak lanjut perincian program-program yang dikagumi sebagai
program-program yang berhasil.
Maka
Manual ESCAP ini dengan penyempurnaan-penyempurnaan kita dan penyesuaian
tertentu pada budaya nasional/regional kita di Indonesia dapat menjadi titik
awal metode ilmiah evaluasi (dan monitoring) macam-macam PKB kita seperti yang
kini kita laksanakan, yaitu PPK. PPK yang merupakan peningkatan program IDT
dalam perhitungan kita baru dapat meningkatkan pendapatan sebessar 11%
dibanding 97% pada program IDT (pada tingkat rumah tangga/household),
meskipun pada tingkat pemanfaat (beneficiaries) sebesar 63,2%, lebih
tinggi dibanding IDT yang 35,4%.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepaa
UN-ESCAP yang telah memberikan kepercayaan untuk mengujicobakan manual ini di
Yogyakarta, tempat kedudukan kami. Seandainya lokakarya ini dapat dilaksanakan
di Yogyakarta tentu dapat lebih menarik lagi bagi para peserta yang kemudian
dapat mengadakan pembicaraan “tatap muka” langsung dengan orang-orang anggota
pokmas yang telah naik tingkat dari miskin menjadi tidak miskin lagi.
Mudah-mudahan pemerintah Indonesia dapat benar-benar tergugah untuk
melaksanakan evaluasi-evaluasi kuantitatif seperti ini di semua daerah dan
hasil-hasilnya ditindaklanjuti setiap tahun dalam bentuk penajaman
program-program penanggulangan kemiskinan bersasaran.
Alternatif
Solusi Penanganan Kemiskinan di Indonesia
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, penulis tidak sepakat terhadap solusi penanganan
kemiskinan melalui pembuatan RUU Penanganan Fakir Miskin. Oleh karena itu,
penulis akan memaparkan alternatif solusi lainnya untuk mengatasi masalah
kemiskinan di Indonesia. Berikut merupakan alternatif solusi tersebut:
1. Optimalisasi
lembaga zakat dan wakaf
Lembaga
zakat dan wakaf telah diakui keberadaannya di Indonesia sejak lama dan
pengaturannya telah mencapai level undang-undang. Selain itu, potensi zakat dan
wakaf sangat besar sehingga sangat memungkinkan untuk digunakan guna mengatasi
masalah kemiskinan di negeri ini. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Badan
Amil Zakat Nasional dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB pada tahun 2011, potensi
zakat secara nasional mencapai angka Rp 217 triliun atau setara dengan 3,40
persen dari total PDB. Sedangkan potensi wakaf di Indonesia, yaitu potensi
dari wakaf tanah seluas 2.171.041.349. m2 yang tersebar di 414.848 (Data
Departemen Agama Tahun 2010) dan potensi wakaf uang yang mencapai Rp 20 triliun
per tahunnya (asumsi yang dibuat oleh Mustafa Edwin Nasution).
Agar
potensi zakat dan wakaf tersebut bisa dioptimalkan untuk mengatasi masalah
kemiskinan di Indonesia, diperlukan sinergisitas unsur pemerintah dengan elemen
masyakarat, dalam hal ini antara Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan
lembaga amil zakat serta antara Badan Wakaf Indonesia (BWI) dengan nazhir
wakaf. Dalam membuat program-program untuk mengatasi masalah kemiskinan, baik
BAZNAS dan BWI maupun amil dan nazhir, sebaiknya berusaha agar program-program
tersebut sinergis dan bisa saling melengkapi sehingga tidak ada ada program
yang tumpang tindih satu sama lain. Oleh karena itu, BAZNAS dan BWI sebagai
elemen pemerintah perlu terus mengayomi amil dan nazhir yang ada di Indonesia
agar bisa bergerak bersama untuk mengatasi masalah kemiskinan di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar